Oleh; Arip Budiman (Editor Semesta Institute)

Foto Selfie Di Lokasi Spot Pemandangan Desa

Pada bulan april kemarin, saya pernah berkunjung ke suatu tempat di Bandung Utara bersama salah seorang teman, sebut saja Deden Sofyan namanya. Ia cukup bersemangat ketika saya ajak untuk menikmati pemandangan yang ada di sana. Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, merupakan tempat indah yang saya kunjungi pada waktu itu.

Desa Mekarmanik merupakan salah satu darah yang terletak pada suatu perbukitan yang ada di Kabupaten Bandung, sebelah utara. Daerah ini dihuni sekitar kurang-lebih 2000 kepala keluarga. Lokasinya yang terletak di perbukitan, menjadikan daerah ini sebagai ranah resapan air yang berfungsi untuk menahan volume air agar tidak terjadi banjir di Kota Bandung. Namun akhir-akhir ini, kurang terawatnya daerah tersebut sringkali dituding sebagai penyebab banjir, dikala musim penghujan datang.

Pada saat itu, angin berhembus cukup malu-malu. Meskipun demikian, kelembutannya tetap mampu menembus pori-pori yang sejak kemarin tertumpuk noda-noda polusi perkotaan. Kicauan burung dan suara angin yang berhembus menabrak pohon pinus, menjadi irama ketentraman yang terlantun secara rutin di Desa Mekarmanik. Desa ini terbilang cukup unik, meskipun cuacanya begitu sejuk khas pegunungan, sepi, dan tentram, jaraknya dengan kota Bandung tidak begitu jauh, kurang lebih 16km.  Hiruk-pikuk perkotaan, seakan lenyap dalam lelahnya menapaki jalan yang kondisinya seperti era 80-an.

Istirahat sejenak di salah satu rumah warga setempat

Ketika saya dan sofyan berkunjung ke tempat tersebut, banyak beberapa fenomena yang cukup membuat kami terkejut, diantaranya; masih banyak warga desa Mekarmanik yang mengalami buta huruf. Hal ini dibenarkan oleh keterangan salah satu aktivis Odesa yang konsen melakukan pendampingan di desa tersebut, yaitu Pak Choiril. Menurut keterangannya “50% masyarakat desa Mekamanik masih mengalami buta huruf dan terancam putus sekolah. Hal demikian disebabkan karena akses yang begitu jauh menuju sekolah. Bayangkan, untuk menuju Sekolah Dasar saja mereka harus menempuh jarak sejauh 4km, dan 8km jarak dari Mekarmanik untuk menuju Sekolah Menengah Pertama (SMP)” tuturnya. Jarak tersebut, mungkin bukanlah sebuah masalah apabila dengan kondisi jalan yang cukup bagus. Namun, jalanan yang saya temui saat itu cukup parah, seperti sebuah sungai yang sudah lama tidak dialiri air. Pribahasa tersebut mungkin sebuah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi jalanan yang kami lihat saat itu.

Masyarakat desa Mekarmanik, pada umumnya berprofesi sebagai buruh tani. Selain sayur-sayuran, kopi merupakan hasil pertanian yang cukup dominan. Hamparan tanah yang luas dan subur, menjadi modalitas masyarakat desa tersebut dalam kegiatan perekonomiannya untuk hidup lebih maju. Namun, tanah-tanah yang ada, sebagian besar dimiliki oleh pemerintah dan perseorangan yang datang dari kota. Harapan untuk berdikari, nampaknya masyarakat di desa ini terpaksa harus sedikit “menggigit jari” dengan menjadi buruh tani.

Garis kemiskinan seakan terbentang cukup luas di desa Mekarmanik jika kita lihat dari ukuran kategori miskin Kementeran Sosial. Kementerian Sosial menyebutkan bahwa suatu masyarakat dapat disebut miskin apabila; “dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, air bersih, kesehatan, dan pendidikan dasar. Dalam peranan sosial, tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, sebagai orangtua, dan komunitas masyarakat. Dalam pengembangan diri, mereka tidak memiliki keterampilan wirausaha, sulit membangun jaringan, dan terbatas akses informasi. Dan yang terakhir, dalam masalah pengembangan produksi sendiri, mereka terbatas pada kepemilikan tanah dan tidak ada sarana-sarana produksi di lingkungan tersebut.”

Menurut ketua Odesa, mas Faiz saat ditemui di kediamannya mengungkapkan bahwa “masyarakat desa Mekarmanik tergolong penduduk yang masuk dalam kategori miskin parah. Miskin parah adalah kategori miskin di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial” ungkapnya. “Untuk fasilitas publik seperti MCK, hanya terdapat satu saja. itupun MCK yang terletak di mushola dengan kondisi yang cukup memperihatinkan. Saat ini hasil dari swadaya masyarakat dan partisipasi Odesa, alhamdulillah sudah dibangun tiga MCK.” Lanjutnya.

Setelah berbincang dengan ketua Odesa, saya dan deden kemudian bergegas kembali untuk menikmati pemandangan yang ada. Miris memang, jika kondisi seperti ini terus dibiarkan. Sepintas benak saya bertanya-tanya, padahal lokasi desa ini tidak jauh dari pusat ibu kota Jawa Barat, bagaimana bisa seperti ini? Jika yang dekat saja bisa terjadi miskin parah, bagaimana dengan jarak desa yang begitu jauh jangkauannya dari pusat pemerintahan? Apa yang mereka kerjakan selama ini? Entahlah, rasanya sangat tidak ingin jika saya harus kembali menyimpan pertanyaan itu di berangkas ingatan saya.

Benak saya yang sedang bertanya-tanya itu kemudian dikejutkan oleh sebuah ingatan lain, yaitu media sosial. Di era milenial ini, rasanya media sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, terlintas pada saat itu juga untuk update status tentang kondisi yang memprihatinkan dari desa tersebut. Namun, niat itu harus terpaksa terhenti karena ketiadaan signal. Keterkejutan saya dan Deden semakin menjadi. Saking menjadinya, entah kenapa kami malah tertawa.

Kami tentunya tidak mentertawai lingkungan dan masyarakat yang telah dilihat sejak dari tadi. Serasa masih tidak percaya saja, di sebuah wilayah yang tidak jauh dari pusat ibu Kota Jawa Barat, masih ada daerah yang seperti ini, era 80-an.

Saat berkeliling di desa tersebut, saya dan Deden berhenti sejenak di sebuah warung untuk melepas lelah. Sembari menikmati kopi yang baru saja dipanen oleh si pemilik warung, kami pun berbincang dan berkenalan dengan pemilik warung tersebut, Ustadz Nanag warga menyebutnya. Obrolan kami bermula dari rasa ingin tahu saya, mengenai benar tidaknya masih terdapat banyak warga yang mengalami buta huruf. Pak Nanang membenarkan tentang keterangan yang dituturkan oleh pak Choiril. Bahkan ia menambahkan “ketua RT dan RW saya malah masih buta huruf kalau aa ingin tahu. Pendidikan warga paling tinggi di desa ini hanya paket ‘B’ atau setara SMP, yaitu pak Kepala Desa”.

Dengan keterangan tambahan tersebut, benak ini semakin bertanya-tanya, kemanakah Dana Desa yang begitu besarnya itu digelontorkan oleh Pemerintah? Kemanakah pendamping desa yang seharusnya bisa memberikan partisipasi dan arahan pembangunan di desa tersebut? Kenapa kondisi desa ini masih terus berlarut seperti ini, padahal salah satu petinggi dari Kementerian yang mengurusi desa ini berasal dari Jawa Barat? Rasanya baru kemarin, saya membaca sebuah berita yang cukup menyenangkan tentang beberapa capaian dari dana desa yang telah digelontorkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Desa. Lagi-lagi jawaban klasik berbisik “entahlah”. Mungkin informasi tentang kondisi yang terjadi di desa ini hilang, seperti tiadanya signal saat mendatangi desa ini. Untuk menyudahi seribu tanya yang tersimpan dalam benak ini, kopi arabica Mekarmanikpun kami seruput sampai tak terasa pahitnya, karena kalah dengan pahitnya kenyataan. Saya dan Deden pun kembali bergegas untuk pulang, membawa kegetiran dari indahnya pemandangan perbukitan. []

Tulisan ini juga dimuat di situs :
http://www.jabarmilenial.com/di-desa-mekarmanik-kemiskinan-itu-abadi/

 

 

Bagikan Berita